Oleh: Dahlan Iskan
DIA masih kelas satu SMA tapi sudah berani melawan pejabat tinggi negara Republik Indonesia. Anda pasti sudah melihat orasi di video yang dia buat. Viral. Isinya tidak kalah keras dengan sikap bapaknyi: pengacara Alvin Lim.
Nama anak itu Kate Victoria Lim. Dia begitu marah: kenapa ayahnya ditangkap dan ditahan. Dia menyimpulkan itu hanya karena ayahnya bersikap keras kepada penegak hukum.
Saya menghubungi Kate pekan lalu. Dia lagi sekolah. Sabtu kemarin saya WA dia lagi: apakah Sabtu libur sekolah? Apakah bisa ditelepon?
Hari Sabtu Kate libur sekolah. Kami pun ngobrol soal videonyi itu.
“Anda biasa dipanggil Kate atau Vic?” tanya saya.
“Kate,” jawabnya. Baca: ket.
“Di video itu Anda bicara tanpa teks?”
“Video yang mana nih?” tanya Kate.
“Yang Anda duduk di kursi besar yang bisa muter itu”.
“Tidak. Tidak pakai teks,” katanyi.
Saya perlu menanyakan itu lantaran Kate masih kelas 1 SMA. Kok bisa bicara begitu lancar soal hukum. Soal penangkapan ayahnyi. Padahal sarjana (yang bukan hukum) saja banyak yang tidak tahu beda pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Bahkan ada yang mengira pengadilan negeri itu sebagai lawan kata pengadilan swasta.
“Kursi yang Anda duduki itu kursi kerja ayahanda?”
“Benar”.
“Itu di ruang kerja, di kantor ayahanda?”
“Di rumah. Di rumah ini ada ruang kerja papa”.
Rumah Alvin di bilangan Karawaci, Tangerang. Di situ Alvin hidup bersama istri, Vio, yang dikawini lebih setahun lalu. Kate adalah anak Alvin dari istri terdahulu.
Rupanya Vio ada di sebelah Kate ketika kami mengobrol. Vio sempat bicara kepada saya: agar nama sekolah anaknyi itu tidak disebut dalam tulisan.
“Apakah setelah video itu viral ada tekanan dari pihak sekolah kepada Anda?”
“Tidak. Sekolah tidak tahu kalau yang di video itu saya,” kata Kate.
“Masak tidak tahu….”.
“Di sekolah siswa kan selalu pakai masker….”.
“Kalau teman-teman sekolah Anda tahu?”
“Kalau teman-teman tahu. Mereka bilang… itu kamu ya?” jawab Kate.
“Setamat SMA nanti Kate akan ke mana?”
“Ya… kuliah”.
“Maksud saya… mau kuliah di mana dan ambil jurusan apa?”
“Papa bilang di Trisakti baik. Tapi saya ingin di Universitas Indonesia. Ya.. Tapi UI jauh. Di Depok. Mungkin saya masuk UPH saja. Dekat,” jawabnyi.
UPH adalah Universitas Pelita Harapan milik grup Lippo yang kampusnya di Karawaci.
“Ambil jurusan apa?”
“Ya… hukum lah…”.
Saya pun tertawa terbahak. Anak ini begitu terinspirasi oleh bapaknyi. Bahkan dalam hal bersikap sama. Keras. Lawan.
“Kalau untuk S2 nanti ingin ambil jurusan bisnis di luar negeri,” ujar Kate.
“Kenapa tidak meneruskan di jurusan hukum?”
“Pelajaran hukum di luar negeri kan tidak sama dengan sistem hukum di kita. Nanti nggak bisa diterapkan di sini,” jawabnyi.
Alvin memang kuliah di Amerika. Di Berkeley, California. Lalu ke Texas, untuk kuliah S2. Sebagai anak orang yang sangat kaya di Jakarta, Alvin kawin dengan putri pengusaha yang tidak kalah kaya, juga di Jakarta. Setelah punya anak Kate, mereka bercerai.
Waktu itu Kate berumur 1 tahun. Ikut ibunyi. Alvin ingin memiliki anak itu. Ia ambil anak itu dari rumah sang istri. Alvin ditangkap: dituduh menculik anak. Alvin dihukum 2 tahun penjara.
“Pernah bertemu ibu kandung?” tanya saya pada Kate.
“Tidak pernah. Setelah umur 1 tahun tidak pernah”.
“Tidak pernah kontak atau dikontak?”
“Tidak pernah. Kan dia di Kanada,” jawabnyi.
“Dari mana pengetahuan hukum itu Anda dapat?”
“Saya kan sering ikut papa. Juga sering ikut mendengarkan kalau papa bicara dengan para pengacara yang berada di kantor papa,” ujarnyi.
“Sudah berapa kali menengok ayah di tahanan Salemba?”
“Baru dua kali. Saya kan sekolah. Dan lagi waktu berkunjungnya kan dibatasi.”
Alvin ditahan dalam kasus KTP palsu. Kaitannya dengan asuransi Allianz. Dua orang wanita dihukum karena kejahatan asuransi. Mereka melakukan klaim tanpa dokumen yang sah: alamat mereka di alamat rumah Alvin.
Dua orang itu dihukum 2 tahun penjara. Alvin dijatuhi hukuman 4 tahun, tanpa kehadirannya di pengadilan negeri. Ia waktu itu, berada di Singapura dengan alasan berobat. Lama sekali. Akhirnya Alvin divonis in absentia.
Alvin pun pulang ke Indonesia. Tidak ditahan karena masa tahanannya habis. Tidak juga masuk penjara karena vonis hakim tidak mengharuskan langsung masuk penjara.
Alvin naik banding ke pengadilan tinggi.
Alvin pun mendirikan kantor hukum: LQ Law Firm. Setelah keluar penjara di kasus ”penculilan” anak itu, Alvin kuliah hukum. Lalu mendirikan kantor pengacara. Ia habis-habisan bekerja di jalur hukum. Polisi dia hantam tidak henti-hentinya. Demikian juga jaksa. Dan hakim. Sampai 185 jaksa mengadukan Alvin ke polisi.
Di pengadilan tinggi, kasus bandingnya disidangkan: ia tetap dihukum 4 tahun. Kali ini dengan tambahan putusan: harus langsung ditahan, meski ia melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Maka ketika Alvin selesai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri terkait dengan 185 pengaduan itu, jaksa menangkapnya. Itu sesuai dengan perintah pengadilan tinggi. Hari sudah menjelang malam.
Malam itu, Kate ikut menjenguk ayahnyi di tempat tahanan Salemba. Dia membuat pernyataan pers. Membela sang ayah. Mengecam aparat hukum. Tapi ada kertas di tangannyi. Sesekali dia melihat kertas itu.
Kate akan membela ayahnyi habis-habisan. Lewat video. Seperti yang didoktrinkan sang ayah: perlawanan hukum bisa dilakukan lewat video yang diviralkan. Itulah senjata bagi orang yang tidak punya kekuasaan dan tidak punya uang.
Kate sudah membuat banyak video. Penampilannyi, percaya dirinyi, kelancaran bicaranyi sudah jauh berbeda dengan malam pertama ayahnyi ditahan itu.
Kate masih kelas 1 SMA. Dia dipaksa hukum untuk membela ayahnyi. (*)