Oleh: Dahlan Iskan
PERTAHANAN terakhir itu jebol. Semua teroris tertangkap. Atau tertembak. Tak tersisa. Habis.
Kawasan Poso, Sulawesi Tengah, mestinya sudah bisa tenang. Waktunya membangun. Menyejahterakan rakyat.
Kalau bisa. Kalau mau.
Atau, terorisnya muncul lagi. Teroris baru. Generasi baru. Diberi kesempatan berkembang. Dipelihara. Bisa sebagai proyek.
Saat Brigjen Farid Makruf (kini Mayjen TNI, Pangdam V/Brawijaya) meninggalkan jabatan Danrem Sulteng, terorisnya tinggal tiga orang. Di hari serah terima jabatan, tertembak lagi satu orang. Tinggal dua. Beberapa waktu setelah meninggalkan Palu, Farid mendapat laporan: yang dua orang itu pun tertembak.
Benteng terakhir teroris Poso itu di tengah hutan. Di gunung bergunung. Bukan hutan rimba. Itu hutan tanaman rakyat: kakau, kopi, dan belakangan vanila. Hutan rimbanya di sisi lebih Barat, ke arah taman nasional Lore Lindu. Yang ada danau Lindu-nya. Yang jadi pusat populasi burung Maleo.
Sedang pegunungan teroris itu populer dengan sebutan ”Gunung Biru”. Itu bukan nama asli. Istilah Gunung Biru baru terkenal belakangan, sejak sering terjadi operasi penangkapan teroris di kawasan itu.
Kawasan Gunung Biru juga dijadikan tanah impian bagi para ekstremis yang ingin menegakkan wilayah berdasar ajaran Islam. Semacam kawasan otonomi Islam di dalam provinsi Sulteng.
Sebenarnya konflik antar agama di Poso sendiri sudah selesai tahun 2007. Yakni sejak ditandatangani perdamaian Malino. Yang terjadi setelah itu adalah terorisme.
Konflik antar agama di Poso berlangsung selama 9 tahun. Sejak 1998. Sejak terjadi krisis moneter yang disusul dengan krisis sosial dan politik.
Pada masa krisis itu, negara memang sangat lemah. Secara ekonomi apalagi secara pemerintahan. Kelompok-kelompok penekan yang menguat. Mereka yang seperti menggantikan pemerintah. Adu kuat terjadi di mana-mana. Konflik horizontal meluas. Pun yang penyebabnya sepele: kekerasan antar remaja. Apalagi kalau dua remaja itu beda aliran atau beda agama.
Konflik Poso pun awalnya hanya persoalan dua remaja: Roy Runtu dan Ahmad Ridwan.
Itu terjadi di bulan puasa. Tahun 2008. Malam hari. Jam 10 malam. Kebetulan hari itu juga malam Natal. Tanggal 24 Desember.
Roy yang kebetulan Kristen bersoal dengan Ridwan yang kebetulan Islam. Bulan puasa bertemu hari Natal.
Malam itu, Ridwan lagi duduk di buk (beton) di pinggir jalan. Buk itu enak untuk duduk di malam hari. Apalagi dekat masjid. Ayah Ridwan imam di masjid itu.
Remaja Roy lagi terpengaruh alkohol. Ia jengkel tidak dapat pinjaman obeng untuk memperbaiki motornya. Ia tebas lengan kanan Ridwan. Ia lari. Ridwan teriak. Heboh.
Isu yang meluas lebih seru dari kejadian aslinya. Persoalan dua remaja berubah menjadi persoalan kekerasan dua umat beragama. Selebihnya Anda sudah tahu: kerusuhan antar agama meletus silih berganti. Kombatan dari berbagai daerah pun datang ke Poso. Termasuk dari Uighur, Xinjiang. Enam orang. Alasan mereka: berjihad.
Ketika konflik antar agama sudah diselesaikan, yang tersisa adalah kombatan. Mereka lari masuk hutan. Naik gunung. Sembunyi. Dikejar. Konsolidasi. Melakukan serangan balik.
Tujuannya pun sudah berubah. Bukan menyerang Kristen, tapi menegakkan ajaran ekstrem. Operasi demi operasi dilakukan oleh polisi dan aparat keamanan. Banyak yang tertembak atau tertangkap.
Sebaliknya, setiap kali ada yang tertembak ada usaha untuk membalas. Teroris itu membunuh polisi. Atau yang dianggap dekat dengan polisi. Aparat jadi korban. Juga masyarakat. Tidak hanya yang Kristen, juga yang Islam.
Kebencian pun terpelihara. Meluas ke masyarakat. Semua korban itu punya keluarga. Kian banyak korban, kian luas kebencian di banyak keluarga.
Tahun 2013 muncul video dari Gunung Biru: isinya deklarasi MIT. Santoso mendeklarasikan MIT sebagai organ ISIS di Poso. MIT tunduk pada ISIS. MIT adalah Mujahidin Indonesia Timur.
Video itu hanya kurang dari 2 menit. Narasinya dalam bahasa Arab dan Indonesia.
Sejak itu, Santoso menjadi pusat incaran operasi keamanan di Gunung Biru.
Santoso anak dari seorang transmigran asal Gunung Kidul, Yogyakarta. Ayahnya sudah lama meninggal. Santoso tinggal bersama ibunya di desa transmigrasi Bhakti Agung, sekitar 52 km dari kota Poso.
Desa transmigrasi ini letaknya di kiri jalan utama jurusan Palu-Parigi-Poso. Di situ banyak juga transmigran dari Bali. Juga dari Lombok. Itulah transmigran tahun 1960-an. Nama desa Bhakti Agung menandakan dominasi orang Bali di situ. Banyak Pura dengan ciri khas Bali di sepanjang jalan utama itu.
Tetangga Santoso pun banyak orang asal Bali. Bahkan Santoso pernah membangun Pura di rumah tetangganya. Jauh sebelum Poso membara.
Wartawan CNN, Jafar G. Bua, asal Parigi, pernah ke rumah Santoso. Ia datang sebagai wartawan. Membawa beras. Itu tahun 2016. Santoso tidak di rumah. Ia di gunung. Jafar wawancara dengan istrinya: asal Jawa.
Rumah itu berdinding hardboard. Rapi. Dengan pohon dan rumput di halaman. Itu rumah baru. Tentaralah yang membuat rumah itu menjadi baru. Asalnya hanya rumah kayu.
Ketika Jafar datang sekali lagi ke rumah Santoso, ia sudah tidak bisa diterima. “Saya diusir oleh anak perempuan Santoso, Warda. Saya dianggap mata-mata,” ujar Jafar.
Santoso akhirnya tewas ditembak. Demikian juga 6 orang dari Xinjiang, yang sudah lebih dulu mati dalam operasi Gunung Biru.
Santoso mati. MIT tidak mati. Posisi pimpinan pindah ke Ali Kalora. Asal Makassar. Istri Poso. Istri satunya lagi dari Bima, NTB.
MIT masih eksis. Serangan masih sering dilakukan oleh kelompok Kalora ini. Jumlah kombatannya sebenarnya tinggal 9 orang tapi sulit dihabisi. Dari 9 orang itu, 4 orang asal Bima.
Yang dikhawatirkan Farid adalah: anak-anak bebek sempat berkembang. ”Anak Bebek” adalah istilah untuk anak-anak muda yang terpengaruh ajaran ekstrem MIT.
Jumlah ”anak bebek” seperti itu banyak. Anak umur 16 tahun pun bisa didoktrin membakar gereja. Ditangkap. Keluar penjara tambah berani: membawa bom bunuh diri.
Salah satu yang dianggap pembina anak bebek seperti itu adalah pemilik pesantren di Poso: Ustad Yasin. Tiga kali ia ditangkap, selalu tidak bisa diadili. Tidak ada bukti perbuatan pidananya.
Anak-anak korban serangan polisi pun ditampung di pesantren Ustadz Yasin. Jumlahnya belasan. Farid minta pembina anak bebek itu ditangkap.
Ustad Yasin berasal dari Semarang. Waktu muda Ustadz Yasin seorang penyiar radio.
Kini Ustad Yasin di tahanan polisi di Jakarta.
Farid dan Kapolda Baso melakukan operasi teritorial. Istri Yasin, yang menggantikan suami sebagai pimpinan pesantren, sudah setuju ideologi di pesantren itu diubah.
Prinsip Farid, semua kombatan bersenjata harus ditangkap. Kalau melawan ditembak.
Tapi operasi militer itu harus dibarengi dengan operasi teritorial.
“Saat itu kami tidak henti-hentinya menyerukan agar mereka menyerahkan diri,” ujar Farid. “Kita sampai mengirimkan rekaman suara istri mereka, agar mereka pulang. Dijamin tidak ditembak,” ujar Farid. “Kita kirim juga rekaman suara anak-anak mereka. Tetap tidak menyerah,” tambah Farid.
Ke mana rekaman dari istri dan anak itu dikirim?
“Mereka punya aplikasi khusus di Telegram. Kita unggah ke sana,” ujar Farid.
Maka begitu Farid diangkat jadi Danrem Sulteng, ia bertekad harus bisa menuntaskan operasi di Poso. Ia kenal baik Kapolda Sulteng saat itu: Abdul Rahman Baso. Sampai saat itu TNI belum terlibat penuh di Poso. Tapi persahabatan Farid-Baso membuat kerja bisa tuntas. Konsep penuntasan Poso dari Farid pun disetujui Pangdam Merdeka di Manado. Juga disetujui Mabes TNI dan Mabes Polri.
Poso pun kini sudah terbebas dari kombatan bersenjata.
Penuntasan operasi Poso itu segera dibukukan. Farid menilai peran Kapolda Baso saat itu sangat besar. Juga peran Kapolda sebelumnya: Irjen Pol Syafril Nursal. Termasuk satuan-satuan TNI-Polri yang ada di dalamnya.
Salah satu adegan dalam operasi pemungkas itu sangat dramatis. Yakni ketika pasukan sudah mengepung tenda-tenda kelompok Ali Kalora. Gunung itu sangat tinggi. Gelap. Dingin. Pasukan harus merangkak di kegelapan. Mereka harus mendekati tenda kombatan. Harus pakai kaca mata pengintai.
Entah kenapa kaca-mata-malam-hari pasukan itu mati. Begitu gelap. Mereka harus terus merangsek dalam gelap. Ketika alat pengintai itu tiba-tiba berfungsi pasukan bisa melihat lagi di kegelapan. Kaget. Ternyata sudah terlalu dekat ke tenda yang diincar.
Tapi momentum penyergapan belum tiba. Pasukan itu harus menunggu komando. Sambil harus mematikan diri di semak-semak. Tak lama kemudian ia melihat ada anggota kombatan yang keluar tenda. Orang itu berjalan menuju arah pasukan yang mematikan diri. Pasukan itu pun terkena percikan air kencing. Dua kali.
Malam itulah penyergapan terakhir terhadap kelompok kombatan Poso. Tewas semua. Ternyata ada enam mayat. Berarti masih ada tiga lagi yang tersisa. Tinggal tiga. Lokasinya pun sudah diketahui. Sudah dikurung. Sudah diisolasi.
Farid dapat berita: masa tugasnya sebagai Danrem habis. Sudah dua tahun. Ia harus menerima tugas baru di Mabes TNI di Jakarta. Umumnya, bisa keluar dari Sulteng sangat disyukuri. Apalagi pindahnya ke Jakarta.
Tapi Farid justru minta perpanjangan jabatan. Tiga bulan saja. Ia merasa tugasnya belum tuntas. Korem Sulteng disebut Korem Tadulako. Tugas harus tuntas secara gemilang.
Di samping soal operasi di Poso, masih ada operasi teritorial lain yang belum selesai. Farid lagi membangun mini hydro di Desa Rejeki, Palolo, sekitar 2 jam naik ke gunung arah Tenggara Palu. Desa di situ belum tersentuh listrik. Tiga bulan berselang mini hydro itu sudah bisa menghasilkan listrik. Murah. Bisa untuk penduduk satu desa.
Kini Farid menjabat Pangdam V/Brawijaya. Bintang dua. Ia memang memegang teguh doktrin ”jangan besar dari jabatan, besarkanlah jabatan”, tapi jabatan Pangdam Brawijaya adalah jabatan yang sudah besar sekali.
Sebagai Madura Asli, Jatim adalah kampungnya. Kenal istrinya pun di Bangkalan. Sang istri adalah adik kelasnya di SMAN 1 Bangkalan. Almarhum ayah sang istri, asal Bogor, pimpinan Bank BRI di Bangkalan. Ibunyi, asal Palembang. Karena itu dia sekolah SMA di Bangkalan.
Jenderal Farid sendiri masih punya ayah dan ibu: di Tanah Merah, sebelah timur jembatan Madura. Ayahnya sudah tua. Sudah sulit mengingat masa lalu. “Kalau pulang, saya harus berpakaian dinas militer. Agar ayah langsung ingat siapa saya,” ujar Farid.
Sebagai jenderal yang memperoleh gelar master di Inggris, Farid selalu mengutamakan proses yang baik. Ia sudah bertugas ke 33 negara. Sudah mendalami sistematika dan metodologi Barat. Juga sistem pertahanan dan keamanannya.
Farid memegang prinsip: hasil yang baik hanya bisa didapat dari proses yang baik. “Proses tidak pernah mengkhianati hasil,” ujarnya. Selalu begitu. Hanya di satu tempat doktrin itu tidak berlaku: di permainan golf. Farid sudah menjelaskan soal anomali golf itu, tapi otak saya tidak sampai. (*)