[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Berita Suara”]
Oleh : Dahlan Iskan
“Dikuasai” dan “menguasakan” tentu berbeda. Yang pertama ada unsur “pemaksaan”. Yang kedua, Anda sudah tahu: ada kerelaan.
Bahkan dalam kata ”dikuasai”, status kepemilikan masih kabur. Sedang dalam kata ”menguasakan” kepemilikannya jelas: di tangan yang menguasakan.
Mungkin itu juga yang dibanggakan pemerintah: bahwa kita sudah mengambil kembali kedaulatan udara kita. Sejak Januari 2022. Khususnya di provinsi wilayah Riau Kepulauan (Batam-Bintan-Natuna dan sekitarnya).
Bahwa sebagian wilayah itu masih tetap dikuasai oleh Singapura itu soal lain. Yang jelas kepemilikannya sudah ada di Indonesia.
Yang masih tetap dikuasai Singapura itu: 29 persen dari seluruh wilayah udara yang dulu 100 persen dikuasai negara itu. Begitulah penjelasan juru bicara Kementerian Perhubungan. Tertulis. Ada jejak digitalnya.
Rupanya tulisan ahli hukum Hikmahanto Juwana sangat mengusik pemerintah. Penjelasan Kementerian Perhubungan tadi khusus untuk menanggapi pendapat guru besar hukum internasional Universitas Indonesia itu.
Pendapat itu memang beredar luas di medsos. Menghebohkan. Komentar pun berseliweran. Kesan yang muncul: kita telah ditipu Singapura. Seolah kedaulatan udara sudah dikembalikan ke Indonesia, kenyataannya tidak begitu. Udara di bawah 37.000 kaki masih tetap dikuasai Singapura.
Kesan lain tulisan itu: Presiden Jokowi telah ditipu anak buah. Yakni menyaksikan penandatanganan dokumen perjanjian yang detailnya berbeda dengan yang tersiar ke publik.
Kesan lainnya lagi: kita kalah cerdik dalam perundingan. Pemerintah tidak mampu membayar lawyer yang hebat dan banyak. Sedang di pihak Singapura sebaliknya.
Saya mendapat cerita dari juru runding yang pernah terlibat soal itu. Di barisan kursi belakang juru runding Singapura berderet ahli hukum. Juru runding itu terlihat sering berunding dengan yang di barisan belakang. Setiap kata dan kalimat didiskusikan. Termasuk koma dan titik. Terutama garis miring.
Juru runding kita beda: tidak punya barisan belakang itu. Pengacara itu mahal –apalagi yang terkenal.
Kecerdikan Singapura terutama di soal penguasaan udara di bawah 37.000 kaki itu. Menurut Prof Hikmahanto, itu sesuai dengan strategi dasar Singapura: ingin menjadikan Changi sebagai hub penerbangan di Asia Tenggara. Kalau Singapura hanya mendapatkan yang di atas 37.000 kaki, maka kedaulatan Singapura yang justru berada di tangan Indonesia.
Hampir semua pesawat yang mendarat di Changi, tentu harus terbang rendah. Berarti harus dikendalikan oleh tower di bandara Batam atau Jakarta. Terutama beberapa menit sebelum menyentuh landasan Changi. Kecuali Singapura bisa mendaratkan pesawat-pesawat besarnya seperti Kopassus yang terjun bebas tanpa payung dari ketinggian 37.000 kaki.
Wajar kalau Singapura harus all out untuk menyelamatkan Changi sebagai hub. Bagi Singapura itu sama dengan menyelamatkan negara.
Bahwa Indonesia menandatangani perjanjian itu, bisa jadi bukti bahwa Presiden Jokowi benar-benar in command. Artinya: Panglima TNI, KSAU, dan KSAL benar-benar patuh pada kehendak presiden, panglima tertinggi mereka.
Di masa lalu, TNI-AL tidak bisa menerima draf perjanjian serupa. Yakni penggunaan wilayah laut Indonesia untuk arena latihan perang militer Singapura. Bukan karena faktor Singapuranya, melainkan dalam latihan itu Singapura boleh melibatkan negara sekutunya.
Soal di udara, rasanya Indonesia juga harus bisa menjadi negara tetangga yang baik: mengizinkan wilayah udara dikendalikan oleh Singapura. Realitasnya, Singapura tidak bisa berkutik tanpa lewat wilayah udara Indonesia. Yang penting itu atas penugasan pemilik wilayah itu: Indonesia.
Tidak seperti yang terjadi sejak 1946, kepemilikan Indonesia tidak diakui secara nyata. Yang penting, bayar berapa. (*)Dahlan Iskan